Back to the Square One

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kemenangan film bisu “The Artist” di ajang Oscar 2012 sekaligus munculnya Michel Hazanavicius sebagai sutradara terbaik mengalahkan Alexander Payne ‘The Descendants’, Martin Scorsese ‘Hugo’, Woody Allen ‘Midnight in Paris’, dan Terrence Malick ‘The Tree of Life’.

Luar biasa… Michel Hazanavicius mengalahkan nama-nama besar disini.

Kemenangan Michel ini lagi-lagi menunjukkan kepada kita semua bahwa teknologi itu penting, namun lebih penting lagi kekuatan konten serta ide sutradara itu sendiri.

Jangan salah, untuk membuat film bisu, Michel Hazanavicius perlu riset mendalam mengenai era tersebut.  Era dimana tidak diperlukan nudity dan violence untuk membuat filmnya laku.  Memang film The Artist pun sebagai film pemenang Oscar belum tentu laku keras, namun sang sutradara memang hanya ingin menghibur penonton dengan suatu sajian yang berbeda. “I’m not here to teach things to them. But what I do know is that if they go back to the masterpieces of the silent era, they’ll find great pleasure for sure. There are so many great movies, and so many great American movies from that time particularly.”

Bicara soal kembali era jaman dulu, saya jadi ingat saat kami menjadi salah satu konsultan di Rasuna Epicentrum dan melakukan riset untuk finalisasi konsep kreatif-nya, salah satu hal yang kami usulkan berubah adalah bioskopnya.  Setelah riset, kami akhirnya malah mengusulkan untuk hanya memiliki 1 buah bioskop daripada 4 bioskop seperti biasanya saat ini.  “Lho jadi kayak Djakarta Theatre dong… Djakarta Theatre malah sekarang ada beberapa bioskop”

Seperti biasa, usulan kami memang unik namun tidak asal beda (harus berdampak positif).  Kalau dilihat, daerah kuningan sudah ada Setiabudi 21 dengan 4 bioskop sehingga kalau kita bikin 4 bioskop juga, bisa jadi akan diputar film yang sama di tempat yang sangat dekat.  Selain itu dengan 1 bioskop akan sangat cocok untuk movie premiere dimana seluruh pemain dan undangan bisa jadi satu di dalam 1 bioskop.  Sehingga nantinya bisa banyak film yang akan launching disini.

Akhirnya pemilik tempat dan pihak 21 setuju untuk mengurangi jumlah bioskop menjadi 2 bioskop, karena toh setiap minggu biasanya ada at least 2 film baru.   Dan sejak launching, begitu banyak film baru yang diluncurkan di Epicentrum XXI.  Local launch film Eat – Pray – Love, lalu film Sang Pencerah dan masih banyak film lagi termasuk film Catatan Harian Si Boy yang lengkap dengan pameran mobil-mobil BMW andalan mas Boy.

So, sometimes to innovate is simply back to the square one 😉 but do it really good!

2 Comments

    1. saya nonton di pesawat dari hongkong ke Jakarta aja gak jadi tidur karena filmnya bagus 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.