Movement ala TOMS Shoes

Belakangan ini kita suka melihat teman kita menggunakan sepatu merk TOMS.  Dan mungkin kita sudah mendengar bagaimana TOMS yang dirintis sejak 2006 dengan “One For One” business modelnya, hingga 2012 berhasil membagikan total 2 juta sepatu kepada anak-anak yang membutuhkan di negara-negara berkembang.

Sehingga kini makin banyak brand yang latah membuat konsep marketing bermodal kebaikan dan menggarap berbagai movement di Indonesia.

Saya beruntung, bisa belajar dan bertemu langsung dengan founder dari TOMS Shoes yang bernama Blake Mycoskie dalam sebuah workshop intimate yang diikuti sekitar 12 orang saja di C2MTL Montreal, Kanada.

Apa yang saya pelajari?

TOMS bukanlah non-profit company.  Mereka perusahaan for profit yang mengubah business modelnya secara kreatif.  Mereka bukan perusahaan yang membagikan sekian persen profit untuk CSR (dalam hal ini membagikan sepatu kepada anak-anak kecil yang selama ini tidak pernah pakai sepatu) tapi memang biaya sepatu sudah dimasukkan ke dalam biaya variabel untuk setiap sepatu yang terjual.

Jadi setiap sepatu yang dijual, secara automatis TOMS akan menyumbang satu sepatu juga.  TOMS menjadi platform untuk sebuah movement. Movement untuk membantu mereka yang tidak pernah punya sepatu dari bahaya tetanus dan berbagai penyakit lainnya.

“Bayangkan kalau setiap perusahaan punya visi yang sama dengan visi pembeli” tutur pria yang berusia 30 tahun saat memulai usaha sepatu ini.  Iya juga ya, seringkali visi perusahaan berbeda dengan visi konsumen.  Seringkali visi perusahaan selalu menjadi yang ter…. di industrinya.  Visi perusahaan kebanyakan memikirkan diri mereka sendiri.

Bahkan kini TOMS merekrut karyawan, hanya karyawan yang juga punya visi yang sama dengan perusahaan, membagikan sepatu kepada yang membutuhkan.

Dan kalau kita ingat hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, tanggal dimana Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908 sebagai organisasi pemuda yang didirikan Dr. Sutomo dan para mahasiswa Stovia.  Berdirinya Boedi Oetomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Mereka yang masuk Boedi Oetomo punya tujuan yang sama. Punya visi yang sama dengan organisasi.

Nah, apakah para karyawan kita punya visi yang sama dengan perusahaan? Atau mereka bergabung hanya untuk mendapatkan gaji dan fasilitas yang mereka sepakati?  Hari Kebangkitan Nasional hari ini saya coba lihat dari sudut pandang yang berbeda.  Semoga kita tidak terjebak membuat movement hanya karena latah tanpa pengetahuan yang tepat.  Sayang sekali melihat berbagai movement yang dibuat oleh brand yang sifatnya hanya seremonial.  Tidak ada tujuan tulus dalam membuat movement. Tidak seperti Boedi Oetomo, tidak seperti TOMS Shoes.

Tidak ada kata terlambat. Mari membuat movement yang meaningful dan berdampak positif untuk orang banyak.

13 Comments

  1. Selamat malam mas Yoris, bacaannya selalu menarik untuk dirasakan,,,mengutip “seringkali visi perusahaan berbeda dengan visi konsumen”, ditempat saya bekerja, visi kita adalam melakukan pelayanan sebaik mungkin terhadap konsumen,,,namun yg saya rasakan, perusahaan hanya mengedepankan cara untuk menjalankan visi tersebut, namun untuk para karyawanya masih belum dilakukan.

    Jadi, selain visi harus selaras dengan konsumen,,,apakah terhadap karyawan juga diperlukan?

    terimakasih

    1. BUKU The ice cream maker by subir chowdhury. boleh di baca tuh untuk menambah wawasan. Semoga bisa menjawab pertanyaannya.

  2. Dear Mas Yoris, kami butuh info CP, kami bermaksud mengundang anda pada acara seminar kami, dtggu info nya ya mas Thanks 🙂

  3. Mas’ APA way of thinking-nyaTOMS INI Mas applikasi jg me hotel yg do Bali? BTW kalau visi ditetapkan based on consumer insight, berarti kits hrs riset dalam ya Mas? Dan sptnya profit jadi bukan tujuan utama? To INI kan bianis Mas? Boleh dishare Dr angle Mas Yoris. Salute

    1. Way of thinking TOMS adalah visi perusahaan sama dengan visi karyawan dan juga sama dengan visi konsumen 🙂 Dan iya, TOMS merupakan bisnis, bedanya nyumbang masuk dalam cost production jadi nyumbang bukan kalau profit tapi nyumbang setiap kali ada produk yang terjual 🙂

      Untuk Hotel di Bali saya menggunakan konsep ITERATION, riset pasar ada di masa Incubation di awal.

      Profit sah sah saja, namun coba fokus ke konsumen yang lebih dibanding profit. Pasti beda deh.

  4. “Semoga kita tidak terjebak membuat movement hanya karena latah tanpa pengetahuan yang tepat” suka dgn kalimat ini 🙂 kembali diingatkan bukan menjadi ATP tapi ATM ya mas? *jadi bahan acuan utk tugas social marketing hehe

    Pengen deh mas Yoris bisa ngisi kelas inspirasi di kampus 😉

  5. Halo kak Yoris, sy slh stu org yg ngikutin terus subscribe, buku, maupun blog kak Yoris, bahkan sy bs jadi finalis lomba bisnis plan dgn pake ilmu yg udah dituangkn lwt buku2 kak Yoris.

    Blh ga ya klau main ke Jkt, sy visit ke kantornya OMG, karena sy penasaran bget gmna prushaan consulting versi OMG.

    Thx Before

  6. Dear Mas Yoris
    Gimana sih sebenarnya cara kita berpikir out the box itu? saya belum begitu paham akan konsep seperti itu. bisakah Mas Yoris memberikan penjelasan lebih lanjut? terima kasih

    1. Berpikir di luar kebiasaan Hendra. Biasanya orang bikin konser hari Jumat atau Sabtu, saya berpikir untuk bikin di hari Senin. Bisa juga berpikir dari industri yang di luar industri kita sekarang. Misalnya Air Asia dari industri penerbangan tapi belajar soal kecepatan dari Formula 1. Lebih banyak contoh2 lainnya di buku2 saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.