Musim lalu, Mikel Arteta hampir saja membawa Arsenal jadi juara English Premier League. 248 hari bertengger di puncak liga musim 2022-23, membuat kita semua hampir yakin, pelatih muda yang dulunya juga bermain di Arsenal akan berhasil membawa tim mudanya jadi juara liga.
Walau pada akhirnya Arsenal gagal juara, namun saya tetap merasa ini merupakan keberhasilan Mikel Arteta sebagai pelatih muda. Arteta lahir 26 Maret 1982 sehingga musim lalu masih berusia 40 tahun. Coba bandingkan dengan Steven Gerrard yang kelahiran tahun 1980 tidak berhasil memimpin Aston Villa dan dipecat hanya 1 tahun setelah diangkat pada 11 November 2021.
Atau kita bandingkan dengan mantan pemain Arsenal lainnya, Patrick Vieira yang kelahiran 1976 dan hanya 18 bulan mendapat kepercayaan melatih Crystal Palace sejak 4 Juli 2021. Dan begitu banyak pelatih muda yang juga mantan pemain seperti Arteta namun tidak bersinar seperti mantan pemain tengah ini. Kenapa?
Menurut saya kata kuncinya adalah mentorship. Mikel Arteta selepas gantung sepatu di Arsenal tahun 2016, langsung bergabung jadi Asisten Pelatih di Manchester City. Menjadi anak buah dari Pep Guardiola yang sudah berhasil membawa klubnya juara di Liga Spanyol dan kemudian di Liga Jerman.
Singkat namun tidak instan, Arteta kemudian pamit dari gurunya Pep Guardiola dan mulai melatih Arsenal di Desember 2019 menggantikan Unai Emery. Kalau mengutip buku Outliers dari Malcolm Gladwell, bisa jadi sudah hampir 10.000 jam dihabiskan Arteta dari sang mentor di Manchester City.
Di setengah musim pertama, Arsenal hanya finis kedelapan di Liga Inggris namun berhasil menggondol trofi juara Piala FA setelah mengalahkan Chelsea 2-1 di final. Di musim berikutnya 2019-2020 Arsenal kembali menempati posisi kedelapan namun berhasil memenangi Community Shield setelah mengalahkan Liverpool lewat adu penalti.
Saya mulai menengok pelatih the Gunners ini, saat dirinya bersikeras dan rela untuk kehilangan Kapten Arsenal Pierre-Emerick Aubameyang karena berbagai tindakan indisiplinernya. Langkah yang sangat berani dari seorang pelatih muda. Yang harus digaris bawahi adalah, berbagai tindakan ya bukan hanya satu tindakan. Konon Arteta menyimpan sejumlah bukti untuk meyakinkan board untuk menyetujui keputusan dia ini.
Pembiaran kejadian indisipliner satu orang pemain bintang bisa berakibat ke pemain-pemain lainnya. Keputusan berat namun harus diambil.
Singkat cerita, Mikel Arteta bisa terus melatih dan membawa Arsenal nyaris juara musim lalu. Namun masih ada 1 inspirasi lagi yang saya ingin bagikan untuk para pembaca blog saya ini, ternyata Pep Guardiola juga sangat membutuhkan Mikel Arteta sebagai asisten pelatih saat itu. Jadi jangan dikira hanya Mikel Arteta yang sangat beruntung jadi Asisten Pelatih Manchester City.
Apa alasannya? Karena itu adalah musim pertama Pep di Liga Inggris yang kita kenal sangat berbeda dengan liga-liga di negara lain di Eropa. “Arteta adalah salah satu gelandang terbaik dan pengalamannya di Liga Inggris akan sangat berharga buat saya”
Jadi Pep juga sangat beruntung memiliki asisten pelatih yang baru saja gantung sepatu. Ini yang seringkali luput dari para pemimpin, hanya mencari asisten pelatih yang sudah berpengalaman melatih.
Saya jadi ingat program reverse mentoring dari Satya Nadella yang berhasil membawa Microsoft kembali berjaya. Belajar dari anak baru yang notabene sangat tahu dunia anak muda yang secara demografi saat ini sangat besar.
Pep Guardiola belajar tentang hampir semua tim dan pemain Liga Inggris yang diketahui oleh Mikel Arteta. Sebaliknya Arteta belajar bagaimana menjadi pelatih dan manajer yang baik, termasuk bagaimana harus membuang pemain bagus yang tidak disiplin.
Sama seperti di dunia kerja, anak baru tentunya belajar dari pemimpinnya. Kalau memungkinkan, jangan terlalu pikirkan gaji di usia muda. Sementara pemimpin harus mau belajar dari anak baru yang mewakili generasi terbesar di dunia saat ini. Bukan hanya disuruh mengulangi perjalanan si pemimpin dulu, di era yang sama sekali berbeda dengan sekarang.