Running Operation That Make Sense – Coffee Bean Pacific Place

Satu pelajaran penting bagi mereka yang kebetulan menjalankan service business.  Foto diatas adalah cuplikan foto dari adegan yang terjadi dalam film “Meet The Parents” dimana Greg Focker ‘dipaksa’ oleh flight attendant untuk menunggu nomer kursinya dipanggil padahal gate sedang dalam keadaan kosong.

Yup, saat menonton mungkin kita tertawa atau tersenyum karena Greg yang saat itu sudah banyak mengalami kemalangan, lagi-lagi mengalami kemalangan.  Namun, sadarkah kita bahwa mungkin saja anak buah kita pun setiap hari melakukan hal tersebut?  Flight attendant selain cantik juga sangat ramah, namun ia berpegang teguh pada yang namanya peraturan.

Padahal peraturan tentunya dibuat dengan tujuan yang baik oleh perusahaan.  Tidak pernah terlintas dari perusahaan untuk membuat pelanggannya kesal apalagi bila akhirnya tidak akan pernah mau berkunjung lagi.  Menurut sebuah riset, 50% pelanggan yang kecewa memilih untuk diam, tidak datang lagi (bila punya pilihan lain yang sejenis) dan menceritakan pengalaman buruknya ke banyak orang.

Lalu apa hubungannya dengan Coffee Bean Pacific Place?

Minggu lalu, saya yang selalu memilih Coffee Bean bila ada klien yang meminta meeting di Pacific Place.  Suka? Biasa aja sih, secara service saya sebenarnya paling suka Coffee Club di Plaza Senayan dan berbagai cabang mereka lainnya.  Namun PP adalah mall yang paling dekat dengan rumah saya tanpa kena 3in1 dan di Pacific Place untuk meeting di bawah jam 10 pagi, outlet yang sudah buka dan bisa diakses dari luar hanya Coffee Bean.

Tepat jam 8 saya SMS klien saya, bahwa saya sudah sampai di Coffee Bean dan ternyata klien saya juga sudah sampai. Kejadian Greg Focker pun terulang.  tidak boleh ‘menyebrang’ counter Coffee Bean karena yang boleh melewati counter hanya karyawan.   Padahal dengan adanya renovasi saja sudah mengganggu kenyamanan para pelanggan, apalagi sekarang saya harus keluar lewat pintu exit mall. Dan karena belum jam 10, pintu mall masih tertutup sehingga saya yang saat itu berada di exit BEJ harus memutar ke exit Artha Graha.  Saya lalu kembali ke Coffee Bean dan menjelaskan bahwa pintu mall masih tertutup, saya hanya seorang diri sehingga tidak akan merepotkan bila saya ‘menyebrang’ counter untuk menemui klien saya di Coffee Bean outdoor seating area.

Namun karyawan yang bertugas dengan sopan tetap pada pendiriannya.  Saya tidak boleh lewat dan harus berjalan memutar Pacific Place Mall.  Si karyawan dengan bangga untuk tetap pada pendiriannya.  Toh dia berpikir bahwa setiap orang yang mau meeting pagi di PP, memang harus di Coffee Bean anyway.

Yup, saya dulu pernah bekerja di Hard Rock Cafe Jakarta dan Bali sebagai General Manager.  Pada saat saya baru bergabung dengan HRC, saya disambut dengan sebuah artikel di Jakarta Post, “Hard Rock Cafe, all dollars no sense” sejak saat itu saya selalu berjuang supaya HRC bisa menjalankan operations yang make sense, bukan sekedar mengejar revenue.

Setiap briefing, kami pastikan bahwa peraturan dibuat untuk kenyamanan tamu sehingga secara long-term HRC juga yang meraih keuntungan.

Bayangkan kalau semua tamu di Coffee Bean ‘dipaksa’ untuk jalan memutar hanya karena peraturan.  Walau hanya pukul 8 pagi hingga pukul 10 pagi, mungkin saja yang kena bukan saya saja.  Mungkin lebih banyak lagi tamu yang pasrah, terima nasib dan diam-diam tidak akan ke Coffee Bean PP lagi.

Bayangkan kalau saja nantinya ada banyak pilihan lain selain Coffee Bean di Pacific Place, akankah mereka tetap ‘power syndrome’?.  Saya cukup sering ke Starbucks yang sama-sama franchise dari luar negri namun disana sangat terasa para staff berupaya semaksimal mungkin untuk kenyamanan pelanggan mereka.  Hampir tidak pernah saya mengalami pengalaman seperti Greg Focker.

Saya menulis bukan untuk complaint, namun untuk memberi inspirasi untuk semua pembaca blog saya yang menjalankan service business.  Terkadang kita sibuk memikirkan akuisisi pelanggan baru, namun kita lupa bahwa kekuatan utama adalah repeat customer.  Pada saat banyak pilihan, revenue turun, baru kita mulai memikirkan service.  Padahal bayangkan bila saat kita hanya menjadi pilihan satu-satunya di 2 jam yang ada sebelum mall buka, we should maximize the experience so the customer will become our repeat customer, bahkan jadi evangelist mereka.

Di Disney, mereka malah bukan sekedar menjunjung tinggi customer service.  Bahkan di saat tamu melakukan ‘kebodohan’ dengan bertanya sesuatu yang benar-benar bodoh, para karyawan tetap harus memberikan service dengan memberikan jawaban yang baik, bukan humiliate them.  Contoh, “Where is the castle?” sementara castle yang ditanya sudah ada dalam sudut pandang tamu yang bertanya.

Sebenarnya sering sekali mereka punya kesempatan untuk membuat tamu looks stupid tapi mereka dilatih untuk tetap memperlakukan tamu sebaik mungkin.  Menurut Disney, “Our Guest May Not Always Be Right, But They Will always Be Our Guest”. Ya mungkin yang berbeda, Disney menganggap mereka tamu sementara di Coffee Bean menganggap kami sebagai sekedar pembeli.

11 Comments

    1. Hi Amanda,

      Intinya bukan sekedar sabar, tapi mengerti tujuan utama dari yang kita jalankan. Bukan berarti klien selalu benar lho. Hanya jangan samapai hanya karena S.O.P klien ‘dikorbankan’. Satu contoh dari OMG Consulting, kita harus menerima DP sebelum bisa present “Initial Presentation” ke klien. Nah terkadang ada klien yang perlu ide buru-buru sehingga tidak bisa kasih DP karena sistim perusahaan mereka yang besar sehingga pembayaran besar perlu prosedur. Nah disini diperlukan discretion dari OMG apakah perusahaannya mau dikasih kesempatan? Saya biasanya bicara dengan ownernya, sehingga saya memegang omongan dia saja. Padahal S.O.P OMG harusnya tidak ada DP tidak ada presentasi 😉 I Love my client and I try to understand them… tidak arogan dan stick to the sytem only 🙂

  1. Ya, terkadang kita menemui kejadian-kejadian seperti yg diceritakan mas yoris di atas. Di segala tempat yg sifatnya pelayanan publik memang semestinya para petugas/front liner diberi semacam “diklat” juga yg mengajarkan mengenai diskresi. Diskresi biasanya dipakai di lingkungan kerja pemerintahan, yg artinya kurang lebih penggunaan kebijakan sendiri di luar aturan formal yg berlaku guna kepentingan umum. Contohnya, Polisi pengatur lalu lintas. Terkadang kita pernah menemui Polisi yg memperbolehkan kendaraan2 lewat padahal di saat itu di jalurnya sedang lampu merah, sedangkan di jalur sebaliknya yg sedang lampu hijau malah disuruh berhenti. Hal ini terjadi karena adanya diskresi Polisi lalu lintas pada saat bertugas melihat keadaan jalanan sedang macet di salah satu jalur, dan lengang di jalur sebaliknya. Makanya pak polisi tsb melakukan upaya agar jalur yg macet dapat terurai dengan cepat 🙂

    1. Yes Ady, diskresi penting sekali dan tentunya semuanya tergantung brief dari manager sehingga ada empowerment yang tepat sesuai dengan jabatan masing-masing.

    1. Semoga bermanfaat Raka 🙂 Dulu di HRC saya menjalankan prinsip Do It Better Way… bukan Do it My Way… sehingga siapa saja di perusahaan boleh mengusulkan perubahan peraturan supaya terjadi long term success of Hard Rock Cafe 🙂

  2. Iya ya mas Yoris. Terkadang kita lupa, peraturan yang dibuat utk kenyamanan, justru mengurangi fleksibilitas dan kenyamanan pengunjung itu sendiri.

    Kalau saya pernah baca biografinya Howard Schuld, memang Starbucks orientasinya pengunjung banget. Kalau minuman tumpah diganti total, nambah apa-apa dibebasin, baristanya dididik jadi ‘teman’, bahkan menghapal pesanan rutin seseorang (mungkin dibantu data CRM di monitor). Untuk pengunjung setia seperti saya, disapa barista saat masuk kafe adalah hal yang menyenangkan 🙂

    Sayangnya topik cust.retention dan CRM sedikit sekali dibahas di kampus, hehe, kebanyakan bahasan FMCG yang strategi masal begitu 😛

    Anw terima kasih inspirasinya mas, salam kenal, literally, hehe 🙂

    1. Iya, berasa banget kalau ke Starbucks para karyawannya really love their job and try their best to make the customer feels like home.

      Salam kenal juga Aditya 🙂

  3. wah pasti sangat mengjengkelkan dan cukup merepotkan kalau sampai mau ketemu klien harus muter-muter gitu. hehhee
    Suatu artikel yang bagus, jujur,terbuka dan mmberikan suatu inspirasi dan solusi 🙂

  4. Setuju banget mas yoris. Bnyak orang yg terjebak pada teknis ( peraturan) tanpa tau bahwa peraturan itu ada karena sebuah tujuan, dalam hal ini ketertiban dan kenyamanan pengunjung. Memang peraturan itu sangat berguna pada saat padat atau bnyak pengunjung, namun ketika sepi atau hanya 1 costumer trkadang peraturan mnjadi “merepotkan atau bahkan keluar dari tujuan peraturan itu sndiri yaitu kenyamanan costumer “. Analoginya sama lah yah kayak lampu lalu lintas mas, disaat jalan sedang ramai sangat kita rasakan manfaatnya, namun trkadang di saat yg sangat sepi ( sperti jam 12 malam di kota kecil) bisa mnjadi suatu hal yg ribet hhe.
    Keep Inspiring Mas Yoris 😀

Leave a Reply to Yoris Sebastian Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.