Ideas are cheap? Belajar dari film Prenjak yang menang di Cannes

Banyak yang bilang, “Ideas are cheap, execution is worth millions” dan saya sangat setuju. Karena Ideas without execution adalah sekedar mimpi. Nah masalahnya, banyak yang kemudian berhenti di IDEAS ARE CHEAP dan melupakan pentingnya ide kreatif. Buat saya sebagai orang kreatif, di jaman yang begitu majunya sekarang, tidak sulit mencari eksekutor yang sangat baik dan punya port folio yang bagus untuk mengerjakan berbagai pekerjaan, namun masih terlalu sedikit ide kreatif yang mampu diwujudkan menjadi sebuah inovasi.

Inovasi bisa dimana saja.

Disaat hotel yang dibangun sekedar baik dan benar, sekedar indah dan mewah diperlukan ide kreatif yang nantinya akan dieksekusi dengan gambar yang bagus dari arsitek dan dibangun dengan baik oleh kontraktor yang punya track record yang baik. Yang dibutuhkan adalah konsep hotel yang berbeda namun dibutuhkan orang banyak.

Di saat begitu banyak lomba inovasi internal digelar dengan biaya yang tidak sedikit, diperlukan konsep kreatif yang berbeda sehingga dampak dari lomba internal benar-benar  berdampak dan tidak sekedar seremonial.

Dimanapun menurut saya diperlukan ide kreatif. Apalagi di industri film yang memang pada dasarnya adalah satu dari belasan sektor industri kreatif. Film Prenjak yang baru-baru ini menang sebagai film pendek terbaik dalam “Critic’s Week Festival Film Cannes 2016” mungkin bisa membuka mata kita soal ide kreatif memang benar-benar penting. Kenapa?

Menurut saya, kualitas eksekutor film kita sudah bagus-bagus. Bahkan dari dulu, bukan sekarang saja sebenarnya Indonesia sudah tercatat di Festival Film Cannes waktu film Tjoet Nja’ Dhien arahan sutradara Eros Djarot lolos ikuti kompetisi film panjang dalam kategori Semaine de la Critique atau Critic’s Week tahun 1989.

Sutradara Garin Nugroho juga pernah meloloskan dua filmnya dalam kategori Un Certain Regard, satu kategori film-film independen terbaik dunia. Film Daun di Atas Bantal berkompetisi tahun 1998, kemudian Serambi tahun 2006 dalam kategori yang sama.

Sutradara muda Indonesia, Edwin, juga muncul tahun 2005 di Cannes lewat film Kara, Anak Sebatang Pohon. Edwin berkompetisi dalam kategori Quinzaine des Realisateurs atau Director’s Fortnight.

Semuanya menunjukkan kualitas yang luar biasa, namun belum menang. Lalu datanglah film Prenjak tahun ini yang justru paling sederhana menurut para juri. Namun di balik kesederhaan film ini, ide ceritanya begitu berbeda. Film ini bercerita tentang Diah (Rosa Sinegar) seorang gadis di sebuah desa, yang karena putus asa, menawarkan kepada Jarwo (Yohanes Budyambara), korek api seharga Rp.10.000 perbatang, untuk dinyalakan dan digunakan mengintip vaginanya.

Ideas are cheap karena sutradara dan penulis cerita Wregas Bhanuteja (millennials kelahiran tahun 1992)  tidak perlu bayar mahal untuk ide kreatif yang dia pikirkan sendiri. Namun ide kreatif menjadi mahal untuk mereka yang tidak juga berhasil mendapatkannya. Kita jadi tersadar bahwa ide itu mahal saat Prenjak menang di Cannes dengan keserdehanaan film namun sangat kuat di ide cerita dan metafora-metafora yang tidak pernah dibayangkan juri-juri Eropa di Cannes.

Kemenangan Prenjak bukan didukung oleh kamera terbaru di dunia perfilman ataupun berbagai biaya eksukusi tinggi lainnya. Prenjak menang karena ide yang kuat dan dieksekusi dengan baik dengan peralatan yang ada saja. Eksekusi harus baik, itu tidak dipungkiri namun menurut saya eksekusi dengan sangat maksimal sesuai dengan kapasitas kita masing-masing saja.

Film Prenjak harusnya menyadarkan kita semua bahwa kekuatan ide dan penulisan naskah yang sebenarnya ada di manusia sehingga tidak memerlukan biaya besar ini yang harusnya bisa jadi inspirasi di bisnis apapun yang kita lakukan.

Sebelum membuat sebuah hotel yang konsepnya similar lagi similar lagi, cobalah mencari ide yang kreatif namun punya dampak positif. Sebelum membuat lomba inovasi buat millennials, coba pikirkan lagi ide kreatifnya sehingga mampu bersaing di mading masing-masing kampus yang kini sudah terlalu banyak dihiasi lomba inovasi. Sebelum mencoba menyanyi menembus dunia, coba mundur beberapa langkah dan memikirkan konsep kreatif yang sangat Indonesia namun bercita rasa international.

Sudah sejak lama, di berbagai seminar dan buku yang saya tulis, saya sampaikan bahwa local wisdom dan local heritage kita sebenarnya punya peluang membawa kita ke tingkat dunia. Dan film Prenjak lagi-lagi membuktikan statement tersebut. Yuk millennials Indonesia, rebut peluang tersebut…!!!

23prenjak-728x410

4 Comments

  1. Betul sekali. Film dengan ide yang orisinil dan dieksekusi dengan bagus. Ini kejadian nyata. Dulu saya baca dari majalah/koran tentang perempuan ‘menawarkan’ vaginanya diintip oleh ‘konsumen’nya dengan menggunakan korek api ini terjadi di terminal Surabaya. Betapa sekeliling kita menawarkan ide luar biasa yang tidak ada habisnya jika kita jeli melihat dan memperhatikan.

    1. Sekeliling kita menawarkan begitu banyak ide yang luar biasa… namun tidak semua bisa menangkapnya… yang ada film dengan ide cerita yang hanya menarik untuk yang bikin filmnya sendiri 🙂

  2. Mantap. Saya sedang nyari ide dan inspirasi kemudian ga sengaja nemu web dan artikel ini.
    Terus berbagi bang yoris. Btw bukunya yang 101 creative tips from CJ favorit saya hehe

Leave a Reply to Yoris Sebastian Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.